ANALOGI MIMPI (...sambungan dari tulisan saya sebelumnya)
Adi Buddha dalam penjelasan di atas, sudah dijelaskan muncul karena sikon historikal dan Path Problem yg ditemui oleh aspiran dalam melatih batinnya.
Path Problem itu berkaitan dengan perenungannya terhadap Emptiness/ Kekosongan. Nah untuk memahami kekosongan itu maka disini saya mencoba untuk memberi gambaran bagaimana pencapaian dari tiap2 filosofi tsb tentang pemahamannya tentang realita dan konsepsi.
Seperti pernah kita dengar dari ceramah2 Dharma bahwa hidup ini adalah bagaikan mimpi belaka. Sebenarnya kondisi kita dalam samsara ini adalah bagaikan mimpi, kita semua bermimpi dalam tidur abadi di samsara ini, sedangkan Sang Buddha adalah orang yang telah terbangunkan (awake).
Oleh karena itulah maka coba simak apa yang bisa kita dapatkan dari pengemukaan analogi mimpi ini.
Level 0
Orang di level ini melihat mimpi2nya sebagai real. Ia ketakutan ketika bermimpi macan, dikejar-kejar pembunuh. Dalam mimpinya ia menangis tersedu-sedu kala bermimpi di tinggal pergi kekasihnya. Dalam mimpi ia tertawa terbahak-bahak melihat hal2 yang menyenangkan, ia bernafsu kala melihat wanita-wanita sexy, dsb. Ia menderita dalam mimpinya.
Sayang sekali, walaupun ia bermimpi tapi ia tak sadar bahwa sedang bermimpi. Dalam mimpinya itu ia diombang-ambingkan oleh gejolak emosi, ambisi2 dan kebencian2 yang disebabkan oleh apa yang terjadi dalam khayalan belaka.
Level 1
Orang di level ini merasa ingin membebaskan diri dari mimpi2nya. Dalam mimpinya ia berusaha terbangun dengan segala macam cara, entah mencubiti dirinya, menjambak2 rambutnya, menarik2 lidahnya, menusuk2 tubuhnya, tapi toh ia tak terbangun juga. Segala kelanjutan dari mimpinya tetap menghampirinya, ia pun tetap memiliki ketakutan, kesedihan, kebencian dan kegembiraan yang terus menerus mengikutinya.
Level 2
Orang di level ini mulai menyadari bahwa dengan menyiksa dirinya pun sebenarnya ia sedang membuat sebuah mimpi buruk dalam mimpinya tanpa pernah terlepas dari jerat mimpi itu. Oleh karena itu ia berusaha menempuh jalan moderasi. Ia mencoba untuk mengatur mimpinya agar sebisa-bisanya bermimpi baik daripada bermimpi buruk. Dalam menghadapi godaan2 mimpinya itu ia pun berhati-hati agar mimpinya tidak berlanjut sebagai mimpi yg lebih buruk. Ia mencoba mempelajari hukum2 / aturan2 dunia impian dimana ia melakukan hal2 yang berakibat baik dan menolak melakukan hal2 yang berakibat tidak baik.
Level 3 Shravaka Approach
Orang ini mulai menyadari bahwa semua itu hanya mimpi belaka. Ia mulai bisa melihat mimpi sebagai mimpi. Oleh karena itu, kala bertemu dengan macan atau dikejar2 pembunuh, ia tidak ketakutan karena tahu itu hanya mimpi. Kala bertemu dengan wanita2 sexy menari2, ia pun tak tergoda karena ia tahu bahwa itupun hanyalah mimpi. Ia menyadari bahwa diri yang menderita dalam mimpi ini hanyalah bentukan dari komponen2 nama dan rupa. Dalam mimpinya ia melihat bahwa macan itu terdiri dari kulit, daging, tulang, darah dsb komponen pembentuknya. Pembunuh-pembunuh yang mengejarnya itu tidak lain terdiri dari pancakandha penyusunnya. Gunung, pohon, meja, kursi, istana2 dsb itu tidak lain adalah bentukan dari materi penyusunnya yang terdiri dari atom2 terkecil. Ia menyadari bahwa yang disebut diri itu tiada lain adalah fenomena bentukan2 dari komponen2 penyusunnya. Ia tidak melekat lagi pada 'aku' tapi masih melihat komponen2 bentukan itu sebagai ada. Ia sudah tidak lagi terganggu oleh mimpi itu (baik mimpi baik atau mimpi buruk) tapi ia masih tetap merasakan sakit sebagai sakit, enak sebagai enak walaupun tidak menderita lagi (secara batin) karena tiada kemelekatan lagi terhadap mimpinya. Walaupun ia masih merasa sakit kala dicubit tetapi ia tidak membiarkan pikirannya berkembang menjadi mimpi2 kebencian yang lebih buruk.
Level 4 Cittamatrin Approach
Orang dalam level ini bermimpi yang sama, tetapi ia menyadari bahwa segala macam impiannya itu tiada lain terbentuk dari substansi pikirannya sendiri. Jadi, macan, pembunuh2, wanita2 sexy , gunung, istana, meja, kursi dsb tiada lain adalah perwujudan dari substansi pikirannya sendiri. Macan, pembunuh, dll itu tidak ada tapi pikirannya ada. Meskipun demikian, ia tetap mengalami rasa sakit sebagai sakit, senang sebagai senang dari apa yang dihasilkan dari ciptaan pikirannya sendiri itu meskipun ia tidak tergoncang lagi oleh fenomena2 bentukan itu.
Level 5 Madhyamaka Approach
Ia melihat bahwa dalam mimpinya itu sebenarnya semuanya adalah kekosongan. Baik macan, pembunuh, wanita2 sexy itu pun tiada lain adalah kekosongan. Komponen2 pembentuk macan, pancakandha, 4 unsur dasar, bahkan pikirannya sendiri pun itu sebenarnya adalah kekosongan belaka. Walaupun ia bermimpi tentang api, tapi ia menyadari bahwa tiada hakikat dari ke-api-an itu, oleh karena itu, api itu tidak membakar sesuatu apa pun. Demikian juga sebenarnya tiada juga pembunuh, tiada yang mengejar, tiada yang di bunuh. Bahkan mimpinya itu sendiri pun sebenarnya juga adalah kekosongan. Dalam mimpi ini bahkan dia melihat bahwa pikirannya yang berpikir bahwa "ini adalah mimpi" itu pun adalah kekosongan. Segala konsep2 yang sehalus apa pun disingkirkannya. Segala sesuatunya ditinjau dari kebenaran absolut adalah kekosongan, meskipun demikian dalam tataran relatif (mimpi) semua itu memang muncul dalam penampakan yang mengada. Dengan penolakannya terhadap segala sesuatu bentukan mental itu, ia mendapatkan kedamaian.
Level 6 Buddha Nature / Mahamudra Approach
Dalam contoh yang lain maka penekanan ditempatkan pada hakikat ke-ilusi-an dari penampakan mimpi. Dari sudut pandang orang di level 6 ini maka ia menyadari bahwa segala macam fenomena mimpinya itu muncul dari suatu kualitas pikiran dasariah yang mampu mengenali suatu obyek (luminosity). Tapi hakikat dari pikiran itu sendiri sebenarnya adalah kosong. Meskipun demikian, pikiran ini bisa memunculkan mimpi baik maupun mimpi buruk, bahkan melanjutkan impian itu walaupun manakala kita sudah menyadarinya sebagai mimpi belaka. Jadi semua itu terjadi baik disadari maupun tidak disadari. Dengan cara itulah maka hakikat luminosity (Clear Light) dari sifat hakiki pikiran inilah yang menjadi dasar bagi samsara, yaitu manakala kita tidak menyadarinya; atau sebagai nirvana, yaitu manakala kita menyadari hakikat basic nature-nya.
Baik manakala pikiran itu sadar ataupun tidak sadar tentang hakikat basic naturenya itu, nature itu sendiri tidak berubah (nature inilah yg disebut Buddha Nature). Sifatnya adalah kekosongan, baik kekosongan dari bentukan2 imajinasi maupun dari sifat ketergantungan dari yang lain. Meskipun demikian, selama Pikiran Kebijaksanaan (Jnana) yang bersifat non-konseptual dan non-arising ini tidak dikenali, maka seakan2 fenomena ketergantungan (dependent nature) seolah-olah muncul, menciptakan mimpi yang mana membuat seolah-olah ada dunia diri vs dunia luar diri yang berinteraksi dengan inner mind. Dari kebingungan ini maka segala ide tentang diri vs bukan diri, kemelekatan, kebencian, dan segala macam konsep dan gangguan emosional akan terbentuk dalam mimpi itu. Tapi apabila kesadaran tentang hakikat nature itu terbangunkan
maka segala macam impi itu akan terlihat sebagai permainan pikiran belaka, yang walaupun terus berlangsung tetapi tidak menciptakan gejolak emosi / pikiran sama sekali.
------
Mudah2an apa yang saya tuliskan ini dapat dijadikan sebuah bahan pengkajian lebih lanjut tentang mengapa konsep Buddha Nature itu sampai muncul, dan bisa melihat apa perbedaanya dalam hal pengertiannya terhadap emptiness dari masing2 pendekatan itu.
Sori bila kurang jelas, but it is very very hard to write this indeed!!...(phew...)
Salam,
Suchamda