easter-japanese

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tujuh alam tujuan kelahiran orang-orang dan pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, tujuh alam tujuan kelahiran orang-orang itu?1

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku.2 Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.’ Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: ‘Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,’3 namun ia masih belum sepenuhnya merealisasikan keadaan itu. Ia belum sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia belum sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu terhadap penjelmaan; ia belum sepenuhnya meninggalkan ketidak-tahuan.4 Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.5

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik dan padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … [71] … ia sama sekali belum meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.6

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.’ Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: ‘Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,’ namun ia masih belum sepenuhnya merealisasikan keadaan itu. Ia belum sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia belum sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu terhadap penjelmaan; ia belum sepenuhnya meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku …’ … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan padam persis sebelum mendarat di tanah. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … [72] … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku …’ … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.7

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan padam ketika mendarat di tanah. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna ketika mendarat.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku …’ … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan kecil jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan kecil jerami atau kayu itu habis, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha.8 [73]

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku …’ … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha.

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan besar jerami atau kayu itu habis, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.’ Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: ‘Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,’ namun ia sama sekali masih belum merealisasikan keadaan itu. Ia belum sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia belum sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu terhadap penjelmaan; ia belum sepenuhnya meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.9

“Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, percikannya akan memercik, terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami atau kayu. Di sana serpihan itu akan menghasilkan api dan asap, tetapi ketika tumpukan [74] besar jerami atau kayu itu habis, api itu akan membakar hutan atau belukar hingga mencapai tepian lahan itu, tepi jalan, tepi gunung batu, tapi air, atau sepetak tanah yang indah, dan kemudian, jika tidak mendapatkan bahan bakar tambahan, maka api itu padam. Demikian pula, seorang bhikkhu mempraktikkan demikian … Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh alam tujuan kelahiran orang-orang itu.

“Dan apakah, para bhikkhu, pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan? Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan tidak ada milikku. Tidak akan ada; tidak akan ada milikku. Aku meninggalkan apa yang ada, apa yang telah ada.’ Ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak melekat pada penjelmaan; ia tidak melekat pada asal-mula. Ia melihat dengan kebijaksanaan benar: ‘Ada keadaan yang lebih tinggi yang damai,’ dan ia telah sepenuhnya merealisasikan keadaan itu. Ia telah sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan; ia telah sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu terhadap penjelmaan; ia telah sepenuhnya meninggalkan ketidak-tahuan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh alam tujuan kelahiran orang-orang dan pencapaian nibbāna melalui ketidak-melekatan.”


Catatan Kaki
  1. Mp mengemas purisagatiyo menjadi purisassa ñāṇagatiyo, “pergerakan seseorang atas pengetahuan.” Akan tetapi, sutta ini tampaknya secara prinsip membicarakan tentang alam tujuan kelahiran (gati) mereka setelah kematian. Paralel China, MĀ 6 (T I 427a13-c24), menerjemahkan judul dari versi Indianya (yang bersesuaian dengan satta purisagatiyo) sebagai 七善人所往至處, yang bermakna “tujuh tempat di mana orang-orang baik terlahir kembali.” ↩︎

  2. No c’assa no ca me siyā, na bhavissati na me bhavissati. Formula samar-samar ini muncul dalam Nikāya dalam dua versi. Satu diduga berasal dari kaum penganut pemusnahan; yang lain adalah adaptasi Sang Buddha atas kalimat yang berasal dari kaum penganut pemusnahan itu. Versi pemusnahan tertulis: no c’ assaṃ no ca me siyā, na bhavissāmi na me bhavissati, “Aku tidak ada, dan tidak ada milikku. Aku tidak akan ada, dan tidak akan menjadi milikku.” Karena keduanya berbeda hanya pada kedua kata kerja – no c’assam vs no c’ assa, dan na bhavissāmi vs na bhavissati – berbagai versi kadang-kadang tertukar. Dari kemasan komentar, tampaknya bahwa ketertukaran itu telah terjadi sebelum masa komentar. Tulisan-tulisan juga berbeda antara edisi-edisi untuk teks yang sama. Umumnya saya lebih menyukai tulisan dari Ce.

    Formula ini secara eksplisit diidentifikasikan sebagai pandangan pemusnahan (ucchedadiṭṭhi) pada SN 22:81, III 99,4-6. Dalam AN, pada **10:29 §8, V 63,**28 – **64,**2, dikatakan sebagai yang terunggul dari pandangan spekulatif pihak luar (etadaggaṃ bāhirakānaṃ diṭṭhigatānaṃ). Sang Buddha mengubah formula ini ke dalam suatu tema perenungan yang sesuai dengan ajaranNya dengan menggantikan kata kerja orang pertama dengan padanannya sebagai orang ke tiga. Perubahan ini menggeser penekanan dari pandangan diri yang implisit dalam versi pemusnahan (“Aku akan musnah”) menjadi sebuah perspektif tanpa merujuk diri yang sesuai dengan doktrin anattā. Dalam beberapa teks, misalnya pada SN 22:55, III 55-58, berlatih dengan dasar formula ini dikatakan memuncak dalam hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, yaitu, tingkat yang-tidak-kembali. Kadang-kadang, seperti dalam sutta sekarang ini, formula ini mencantumkan bagian lanjutan (baca di bawah), perenungan yang dikatakan mengarah pada keseimbangan. Praktik sesuai formula lengkap akan mengarah pada salah satu dari lima tingkat yang-tidak-kembali atau pada tingkat Kearahattaan.

    Dalam Nikāya-Nikāya makna yang pasti dari formula ini tidak pernah dijelaskan secara eksplisit, yang menyiratkan bahwa ini mungkin berfungsi sebagai sebuah tuntunan terbuka untuk perenungan yang harus dilengkapi oleh meditator melalui intuisi pribadi. Komentar-komentar, termasuk Mp, menganggap partikel singkatan c’ mewakili ce, “jika,” dan menginterpretasikan kedua bagian dari formula itu sebagai pernyataan kondisional. Di sini saya menerjemahkan dari Mp (sesuai dengan interpretasi komentar): “Jika belum ada: Jika, di masa lalu, tidak ada kamma yang menghasilkan penjelmaan individu; maka tidak ada milikku: sekarang aku tidak akan memiliki penjelmaan individu. Tidak akan ada: Sekarang tidak akan ada kamma yang menghasilkan penjelmaan individu di masa depan bagiku; tidak akan ada milikku: di masa depan tidak akan ada penjelmaan individu bagiku.”

    Saya tidak sepakat dengan komentar atas makna c’, yang saya anggap mewakili ca = “dan.” Sintaksis dari frasa ini secara keseluruhan memerlukan ini. Paralel Skt sebenarnya mencantumkan ca (misalnya, Udānavarga 15:4, paralel dengan Ud 78,1-3, menuliskan: no ca syān no ca me syā[n]; dan MĀ 6 mencantumkan karakter 亦 (= “dan”) dalam tempat yang bersesuaian dalam formula itu. Saya menginterpretasikan maknanya, “tidak ada” yang pertama merujuk pada lima kelompok unsur kehidupan pribadi, yang ke dua merujuk pada dunia yang dipahami melalui kelompok-kelompok unsur kehidupan itu. Bagi kaum duniawi pasangan dua kalimat ini secara keliru dipahami sebagai dualitas diri dan dunia; bagi siswa mulia ini hanyalah dualitas fenomena internal dan eksternal. Berdasarkan pada ini saya menginterpretasikan formula ini sebagai berikut: “Kelima kelompok unsur kehidupan dapat dihentikan, dan dunia yang disajikan oleh kelima kelompok unsur kehidupan itu dapat dihentikan. Aku akan berjuang hingga kelima kelompok unsur kehidupan itu akan terhenti, (dan dengan demikian) dunia yang disajikan oleh kelima kelompok unsur kehidupan itu akan terhenti.”

    Bagian lanjutannya dalam Pāli tertulis: yadatthi yaṃ bhūtaṃ taṃ pajahāmī ti upekkhaṃ paṭilabhati. Mengikuti Mp, saya memahami “apa yang ada, apa yang telah ada” (yadatthi yaṃ bhūtaṃ) sebagai lima kelompok unsur kehidupan yang ada sekarang. Ini telah muncul melalui ketagihan dari kehidupan sebelumnya dan sedang ditinggalkan melalui ditinggalkannya penyebab bagi kemunculan kembali dalam kehidupan berikutnya, yaitu, ketagihan atau keinginan-dan-nafsu. ↩︎

  3. Atth’ uttariṃ padaṃ santaṃ sammappaññāya passati. Mp: “Ia melihat dengan kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang, ‘Ada keadaan damai yang lebih tinggi lagi, nibbāna.’” ↩︎

  4. Adalah kelangsungan keberadaan ketiga kekotoran ini yang membedakan yang-tidak-kembali dengan Arahant, yang telah melenyapkannya. ↩︎

  5. Menurut posisi komentar Theravada yang umum, Mp menjelaskan antarāparinibbāyī sebagai seorang yang mencapai nibbāna – padamnya kekotoran sepenuhnya – mulai dari saat kelahiran kembali hingga usia pertengahan. Posisi ini tampaknya bertentangan dengan perumpamaan-perumpamaan yang mengikutinya. ↩︎

  6. Perumpamaan-perumpamaan ini mengilustrasikan ketiga jenis antarāparinibbāyī, “yang mencapai nibbāna pada masa antara.” Walaupun argumen-argumen yang didasarkan pada perumpamaan-perumpamaan tidak selalu bisa diandalkan, namun ketiga perumpamaan itu menyiratkan bahwa “yang mencapai nibbāna pada masa antara” mencapai nibbāna sebelum benar-benar terlahir kembali. Seperti halnya ketiga percikan yang padam setelah terbang dari mangkuk yang panas membara sebelum menyentuh tanah, maka (menurut interpretasi saya) ketiga jenis ini mencapai nibbāna akhir berturut-turut apakah segera setelah memasuki keadaan antara, atau selama dalam masa antara itu, atau segera setelah kelahiran kembali terjadi. Dalam kasus ini, mereka segera memasuki elemen nibbāna tanpa sisa (anupādisesanibbānadhātu). ↩︎

  7. Mp menginterpretasikan orang ini sebagai seorang yang mencapai nibbāna antara pertengahan masa kehidupannya dan akhir kehidupannya. Akan tetapi, kata upahacca, “setelah dipukul,” dan perumpamaan percikan yang padam ketika menyentuh tanah, menyiratkan bahwa jenis ini adalah seorang yang mencapai nibbāna hampir segera setelah terlahir kembali. ↩︎

  8. Sementara interpretasi komentar standar Theravada menganggap kedua jenis berikutnya – seorang yang mencapai nibbāna tanpa usaha (asaṅkhāraparinibbāyī) dan seorang yang mencapai nibbāna dengan usaha (sasaṅkhāraparinibbāyī) – sebagai dua cara alternatif yang melaluinya antarāparinibbāyī dan upahaccaparinibbāyī mencapai tujuannya, namun perumpamaan percikan api menyiratkan, secara tegas, bahwa kelima jenis (atau tujuh, jika menghitung ketiga sub-bagian pertama secara terpisah) adalah berbeda, yang membentuk serangkaian dari yang paling tajam hingga yang paling lambat. Dengan demikian jika, seperti dugaan Mp, upahaccaparinibbayī adalah seorang yang mencapai nibbāna antara pertengahan kehidupan dan akhir kehidupan, maka tidak ada tempat untuk kedua jenis lainnya, yaitu mereka yang mencapai nibbāna tanpa usaha dan mereka yang mencapai nibbāna dengan usaha. ↩︎

  9. Baca Jilid 2 p.340, catatan 211. ↩︎