easter-japanese

“Para bhikkhu, ada tujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’.1 Apakah tujuh ini?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk menjalankan latihan di masa depan. (2) Ia memiliki keinginan kuat untuk mengingat Dhamma dan tidak kehilangan kegemarannya untuk mengingat Dhamma di masa depan. (3) Ia memiliki keinginan kuat untuk melenyapkan keinginan sia-sia dan tidak kehilangan kegemarannya untuk melenyapkan keinginan sia-sia di masa depan.2 (4) Ia memiliki keinginan kuat pada keterasingan dan tidak kehilangan kegemarannya pada keterasingan di masa depan. (5) Ia memiliki keinginan kuat untuk membangkitkan kegigihan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk membangkitkan kegigihan di masa depan. (6) Ia memiliki keinginan kuat pada perhatian dan keawasan dan tidak kehilangan kegemarannya pada perhatian dan keawasan di masa depan. (7) Ia memiliki keinginan kuat untuk menembus melalui pandangan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk menembus melalui pandangan di masa depan. Ini adalah ketujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh.’”


Catatan Kaki
  1. Niddasavatthūni. PED menganggap niddasa sebagai kesalahan penulisan untuk niddesa dan menjelaskan kata majemuk itu berarti “objek keluhuran, atau pujian.” SED sv nirdaśa mengartikan “berumur lebih dari sepuluh hari, terjadi lebih dari sepuluh hari yang lalu.” Akan tetapi, ungkapan itu sendiri tidak harus berhubungan dengan hari dan juga dapat dijelaskan dengan menganggap ni sebagai suatu awalan yang dengan demikian bermakna “tanpa sepuluh.” Mp menerima tulisan itu seperti yang tertulis dan memberikan penjelasan, yang saya terjemahkan persis di bawah. Ada kemungkinan bahwa makna asli dari ungkapan ini telah hilang dan dalam menginterpretasikannya kita tidak memiliki apa pun sebagai sumber kecuali dugaan. Tidak ada paralel China untuk sutta ini atau untuk 7:42-43 di bawah sebagai pembanding.

    Berikut adalah penjelasan Mp: “Pertanyaan [‘Bagaimanakah seseorang adalah tanpa-sepuluh?’] dikatakan muncul dari kalangan kaum sektarian luar. Karena mereka menyebut seorang Nigaṇṭha [seorang petapa Jain] sebagai niddaso (“tanpa-sepuluh”) yang telah meninggal dunia pada saat ia berusia sepuluh tahun [dasavassakāle; atau: “pada saat ia telah memiliki sepuluh tahun senioritas” (sebagai seorang petapa)?]. Karena, dikatakan, ia tidak akan menjadi berusia sepuluh tahun lagi. Dan bukan hanya ia tidak akan menjadi berusia sepuluh tahun lagi, [ia juga tidak akan menjadi] berusia sembilan tahun atau bahkan berusia satu tahun. Dengan cara ini, mereka menyebut seorang Nigaṇṭha yang meninggal dunia saat berusia dua puluh tahun, dan seterusnya, sebagai nibbīso (‘tanpa-dua puluh’), nittiṃso (‘tanpa-tiga puluh’), niccattālīso (‘tanpa-empat puluh’), nippaññāso (‘tanpa-lima puluh’). Ketika Ānanda sedang mengembara di desa, ia mendengar diskusi ini dan melaporkannya kepada Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata: ‘Ini bukanlah sebutan bagi kaum sektarian, Ānanda, melainkan bagi penghancur-noda [Arahant] dalam ajaranKu.’ Karena jika si penghancur-noda mencapai nibbāna akhir pada saat ia berusia sepuluh tahun [atau: memiliki sepuluh tahun senioritas?], maka ia tidak akan menjadi sepuluh tahun lagi. Bukan hanya sepuluh tahun, ia juga tidak akan menjadi sembilan tahun … satu tahun. Bukan hanya satu tahun, ia juga tidak akan menjadi sebelas bulan … juga bahkan tidak satu momen. Mengapakah? Karena ia tidak akan pernah terlahir kembali. Metode yang sama berlaku untuk seorang yang ‘tanpa-dua puluh’ dan seterusnya. Demikianlah Sang Bhagavā memulai ajaran ini untuk menunjukkan sebab-sebab untuk menjadi seorang yang ‘tanpa-sepuluh.’” ↩︎

  2. Icchāvinaye tibbacchando hoti āyatiñca icchāvinaye avigatapemo. Di sini saya menerjemahkan icchā sebagai “keinginan sia-sia” dan chanda sebagai “keinginan.” Mp mengemas icchā sebagai taṇhā, ketagihan. ↩︎