easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu seorang ibu dan putranya, yang adalah seorang bhikkhunī dan seorang bhikkhu, memasuki masa keberdiaman musim hujan di Sāvatthī. Mereka sering kali ingin saling bertemu satu sama lain, sang ibu sering ingin bertemu putranya dan sang putra ingin bertemu ibunya. Karena mereka sering bertemu satu sama lain, maka suatu keterikatan terbentuk; karena keterikatan terbentuk, maka keakraban muncul; karena ada keakraban, maka nafsu mendapatkan peluang.1 Dengan pikiran mereka dicengkeram oleh nafsu, tanpa meninggalkan latihan dan menyatakan kelemahan mereka, mereka melakukan hubungan seksual.2

Kemudian sejumlah para bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang telah terjadi. [68] [Sang Bhagavā berkata:]

“Para bhikkhu, apakah orang dungu itu berpikir: ‘Seorang ibu tidak jatuh cinta pada putranya, atau seorang putra tidak jatuh cinta pada ibunya’? (1) Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu bentuk lain pun yang begitu menggoda, sensual, memabukkan, memikat, menggilakan, dan begitu menghalangi untuk mencapai keamanan yang tidak terlampaui dari belenggu seperti halnya bentuk seorang perempuan. Makhluk-makhluk yang bernafsu pada bentuk seorang perempuan – kelaparan, terikat padanya, tergila-gila, dan secara membuta terserap di dalamnya3 - berdukacita untuk waktu yang lama di bawah kendali bentuk seorang perempuan. (2) Aku tidak melihat bahkan satu suara lain pun … (3) … bahkan satu bau lain pun … (4) … bahkan satu rasa kecapan lain pun … (5) … bahkan satu sentuhan lain pun yang begitu menggoda, sensual, memabukkan, memikat, menggilakan, dan begitu menghalangi untuk mencapai keamanan yang tidak terlampaui dari belenggu seperti halnya sentuhan seorang perempuan. Makhluk-makhluk yang bernafsu pada sentuhan seorang perempuan – kelaparan, terikat padanya, tergila-gila, dan secara membuta terserap di dalamnya - berdukacita untuk waktu yang lama di bawah kendali sentuhan seorang perempuan.

“Para bhikkhu, sewaktu berjalan, seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki; sewaktu berdiri … sewaktu duduk … sewaktu berbaring … sewaktu tertawa … sewaktu berbicara … sewaktu bernyanyi … sewaktu menangis seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Ketika membengkak,4 juga seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Bahkan ketika mati, seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Jika, para bhikkhu, seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang sesuatu: ‘Keseluruhan jerat Māra,’ adalah sehubungan dengan para perempuan hal ini dikatakan.”5 [69]

Seseorang boleh berbicara dengan musuh yang berniat membunuh, seseorang boleh berbicara dengan makhluk jahat, seseorang bahkan boleh mendekati seekor ular berbisa, yang gigitannya pasti mengakibatkan kematian; tetapi dengan seorang perempuan, satu lawan satu, seseorang tidak boleh berbicara.

Mereka mengikat seseorang yang pikirannya kacau dengan lirikan dan senyuman, dengan pakaiannya yang berantakan, dan dengan tutur kata yang lembut,

Tidaklah aman mendekati6 orang demikian walaupun ia membengkak dan mati. Kelima objek kenikmatan indria ini terlihat dalam tubuh seorang perempuan: bentuk, suara, rasa kecapan, dan bau-bauan, dan juga sentuhan yang menyenangkan.

Mereka yang terhanyutkan oleh banjir indriawi, yang tidak sepenuhnya memahami kenikmatan-kenikmatan indria, jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam saṃsāra, [ke dalam] waktu, alam tujuan, dan penjelmaan demi penjelmaan.7

Tetapi mereka yang telah sepenuhnya memahami kenikmatan-kenikmatan indria. hidup tanpa takut dari arah mana pun juga, Setelah mencapai hancurnya noda-noda, selagi masih di dunia ini, mereka telah menyeberang.


Catatan Kaki
  1. Tesaṃ abhiṇhaṃ dassanā saṃsaggo ahosi, samsagge sati vissāso ahosi; vissāse sati otāro ahosi. Walaupun saya menerjemahkan vissāso sebagai “keakraban,” kata ini tidak berarti bahwa pada titik ini mereka telah memiliki hubungan fisik yang akrab. Melainkan, vissāso adalah perasaan percaya yang dapat mengarah pada hubungan seksual. Akan tetapi, agar hal ini dapat terjadi, maka keakraban harus memberikan celah bagi nafsu. Ini ditunjukkan melalui ungkapan otāro ahosi↩︎

  2. Sebuah pelanggaran pārājika pertama atau pelanggaran yang mengakibatkan pengusiran. ↩︎

  3. Saya mengikuti urutan pada Be dan Ee, yang membaca giddhā gathitā mucchitā ajjhopannā, bukan seperti Ce gathitā giddhā mucchitā ajjhopannā. Urutan –gathita, mucchita, ajjhopanna – adalah umum dalam teks. ↩︎

  4. Be dan Ee ugghātitā (Ce ugghānitā). Mp mengemas sebagai uddhumātā, “membengkak,” suatu tahapan kerusakan mayat. Lima tahapan demikian disebutkan pada 1:480-84. Mungkin hal berikutnya, perempuan mati, merujuk pada perempuan yang telah meninggal dunia yang tersimpan dalam ingatan bukan mayatnya. Brahmāli menyarankan untuk menganggap ugghātitā sebagai “gemuk,” tetapi saya tidak yakin bahwa ini benar. DOP sv ugghāṭeti^2^ memberikan arti “menggembung, membengkak” di antara arti-artinya. ↩︎

  5. Di sini Ce hanya menuliskan yampi taṃ bhikkhave sammā vadamāno vadeyya samantapāso mārassā ti, yang tidak lengkap. Karena itu saya mengikuti Be dan Ee: yaṃ hi taṃ bhikkhave sammā vadamāno vadeyya samantapāso mārassā ti mātugāmaṃ yeva sammā vadamāno vadeyya samantapāso mārassā ti↩︎

  6. Suvāsīdo: berdasarkan pada kata kerja āsīdati, mendekat, dengan awalan su- dan -v- sebagai konsonan penghubung. ↩︎

  7. Mp mengemas purakkhatā sebagai “para pelopor, mereka yang berada di depan” (pureccārikā purato gatāyeva). Terjemahan saya “jatuh dengan kepala lebih dulu” adalah terjemahan bebas namun menangkap maknanya. Vanarata menyarankan bahwa kālaṃ, gatiṃ, dan bhavābhavaṃ mungkin adalah bentuk lokatif yang disingkat atau faktor-faktor kata majemuk yang dipisah yang harus digabungkan dengan saṃsārasmiṃ, tetapi saya pikir syair ini menggunakan bentuk akusatif karena alasan irama. Tidak ada paralel China dari sutta ini yang dapat diperbandingkan. ↩︎